BAB 3
HUKUM PERDATA
Contoh Kasus Hukum Perdata
Saksi Ahli: Kasus Pupuk Termasuk Hubungan Hukum Perdata
BANGKAPOS.COM, BANGKA - J Satrio, saksi ahli yang dihadirkan oleh kuasa hukum terdakwa Yohannes Irawan Sutanta dalam sidang kasus tipikor pupuk PT Timah Tbk, menilai kasus yang menjerat Yohannes masuk dalam hubungan hukum perdata.
"Saya tidak tahu kejadiannya seperti apa, tapi kalau saya melihat dari semua pertanyaan yang dilontarkan, ini termasuk hubungan hukum perdata," kata Satrio dalam sidang yang diketuai oleh Artha Theresia Silalahi di Pengadilan Tipikor Pangkalpinang, Kamis (30/8/2012).
Satrio mengatakan, bila ada kerugian yang ditimbulkan dalam proses jual beli antara kedua belah pihak maka dapat dituntut untuk mengganti rugi.
"Kalau ada perubahan sifat barang karena kelalaian baik dari pembeli maupun penjual, dibuktikan saja siapa yang salah lalu tuntut ganti rugi," kata Satrio.
Dalam pasal 1381 KUHP Perdata, lanjut Satrio, disebutkan proses jual beli telah putus bila barang sudah diserahkan dan uang telah diterima oleh kedua belah pihak.
Satrio merupakan mantan dosen Universitas Hasanuddin, UGM, dan Universitas Sudirman (Usud) Purwekerto. Selain Satrio, kuasa hukum Yohanes juga menghadirkan Guru Besar Fakultas Pertanian Unpad Bandung, Tualar Simarmata.
Dalam kesaksiannya, Tualar mengatakan pupuk kompos dan organik dapat berubah kadar tergantung dari tempat penyimpanan, kemasan, dan faktor lainnya. Bila pupuk tersebut disimpan yang terbuka, terkena sinar matahari dan hujan maka perubahan kualitas pupuk atas sangat cepat.
"Pupuk tidak ada expirednya (kadaluarsa, red), tergantung dari penyimpanan tersebut," kata Tualar.
Yohannes dan Dessy Rostyati ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus pengadaan pupuk PT Timah Tbk tahun 2008. Keduanya dinilai telah melanggar pasal 3 juncto pasal 18 UU no 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan merugikan negara sebesar Rp 7, 432 miliar.
Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia.
Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
Hukum Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi,[1] yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara.
Hukum perdata Indonesia
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga memengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya.
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan asas konkordansi.
Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia-Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.
Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian yaitu :
Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan disahkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
BAB 4
HUKUM PERIKATAN
Pengertian
Hukum
perikatan adalah suatu kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lainnya dalam bidang harta
kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas suatu prestasi, sedangkan
subjek hukum yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi.
Asas Asas Hukum Perikatan
1. Asas Konsensualisme
Asas Konsesualisme dapat disimpulkan dari pasal 1320 ayat 1 KUHPdt yang
berbunyi “untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : (1) Sepakat
mereka yang mengikat dirinya, (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, (3)
Suatu hal tertentu, (4) Suatu sebab yang halal. Pengertian kesepakatan
dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui antar
pihak-pihak.
2. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal
1338 ayat 1 KUHPdt : “Perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai
undang-undang....” . Para pihak harus menghormati perjanjian dan
melaksanakannya dengan perjanjian itu merupakan kehendak bebas para pihak.
3. Asas Kebebasan Berkontak
Menurut Pasal 1338 KUHPdt : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan tersebut
memberikan kebebasan para pihak untuk :
§ Membuat atau tidak membuat perjanjian
§ Mengadakan perjanjian dengan siapapun
§ Menentukan isi perjanjian,
pelaksanaan, dan persyaratannya
§ Menentukan bentuk perjanjian, yaitu
tertulis atau lisan.
Disamping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa
asas hukum perikatan nasional, yaiut :
1. Asas Kepercayaan
2. Asas persamaan hukum
3. Asas keseimbangan
4. Asas kepastian hukum
5. Asas moral
6. Asas Kepatutan
7. Asas kebiasaan
8. Asas perlindungan
Berakhirnya Perikatan
Pasal 1381 KHUPdr
1. Karena Pembayaran
2. Karena penawaran pembayaran tunai,
diikuti dnegan oenyimapan atau penitipan (konsignasi)
3. Karena pembaharuan utang (novasi)
4. Karena perjumpaan utang atau
konpensasi
5. Karena pencampuran utang
6. Karena pembebasan utang
7. Karena musnahnya barang terutang
8. Karena kebatalan atau pembatalan
9. Karena berlakunya suatu syarat batal
Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang
berlaku di Indonesai adalah perjanjian undang-undang, dan sumber dari
undang-undang dapat dibagi lagi menajdi undang-undang melulu dan undang-undang
dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi
menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH
Perdata terdapat terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Peikatan yang timbul dari oersetujuan
(perjanjian)
2. Peikatan yang timbul dari
undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi terjadi akrena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad) dan
perwakilan sukarela (zaakwaarneming)
Wanprestasi
dan Akibat-Akibatnya
Perkataan
“wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi sangat buruk.
Apabila seseorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hukum
ia melakukan “wanprestasi” yang menyebabkan ia dapat digugat di depan hakim.
Apabila siberhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan
dilakukannya, maka ditawarkan bahwa ia melakukan “wanprestasi”. Ia adalah
“alpa” atau “lalai” atau “bercidra-janji”. Atau ia juga “melanggar perjanjian”,
yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
Wanprestasi seseorang dapat berupa empat macam :
a.
Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan melakukannya.
b.
Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c.
Melakukan
apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d.
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Terhadap kelalaian atau kealpaan siberhutang (debitur), diancamkan beberapa sanksi atau hukuman.
Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai tadi ada empat macam, yaitu:
Terhadap kelalaian atau kealpaan siberhutang (debitur), diancamkan beberapa sanksi atau hukuman.
Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai tadi ada empat macam, yaitu:
1.
membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi.
2.
pembatalan
perjanjian atau juga dinamakan “pemecahan” perjanjian.
3.
Peralihan
Resiko.
4.
membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan
dimuka hakim.
Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus diterapkan lebih dulu apakah siberhutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan dimuka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak diperjanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Dalam jual-beli barang misalnya tidak ditetapkan kapan barangnya harus diantar kerumah si pembeli, atau kapan si pembeli ini harus membayar uang barang tadi.
Contoh Kasus Hukum Perikatan
A.
Kronologis Kasus
Pada permulaan PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) dibuka dan
disewakan untuk pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan untuk
memasarkannya. Salah satu cara untuk memasarkannya adalah secara
persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan di pusat kota
Surabaya itu. Salah seorang diantara pedagang yang menerima ajakan PT
surabaya Delta Plaza adalah Tarmin Kusno, yang tinggal di Sunter-Jakarta.
Tarmin
memanfaatkan ruangan seluas 888,71 M2 Lantai III itu untuk menjual
perabotan rumah tangga dengan nama Combi Furniture. Empat bulan berlalu
Tarmin menempati ruangan itu, pengelola SDP mengajak Tarmin membuat “Perjanjian
Sewa Menyewa” dihadapan Notaris. Dua belah pihak bersepakat mengenai
penggunaan ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi dan segala hal yang
bersangkut paut dengan sewa menyewa ruangan. Tarmin bersedia membayar
semua kewajibannya pada PT SDP, tiap bulan terhitung sejak Mei 1988 s/d 30
April 1998 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 10 dan denda 2 0/00 (dua
permil) perhari untuk kelambatan pembayaran. Kesepakatan antara pengelola
PT SDP dengan Tarmin dilakukan dalam Akte Notaris Stefanus Sindhunatha No. 40
Tanggal 8/8/1988.
Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal
perjanjian. Kewajiban Tarmin ternyata tidak pernah dipenuhi, Tarmin
menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga tagihan demi tagihan
pengelola SDP tidak pernah dipedulikannya. Bahkan menurutnya, Akte No. 40
tersebut, tidak berlaku karena pihak SDP telah membatalkan “Gentlement
agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk menunda pembayaran. Hanya
sewa ruangan, menurut Tarmin akan dibicarakan kembali di akhir tahun
1991. Namun pengelola SDP berpendapat sebaliknya. Akte No. 40 tetap
berlaku dan harga sewa ruangan tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.
Hingga 10 Maret 1991, Tarmin seharusnya membayar
US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT SDP. Meski kian hari jumlah
uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus bertambah,
Tarmin tetap berkeras untuk tidak membayarnya. Pengelola SDP, yang
mengajak Tarmin meramaikan pertokoan itu.
Pihak
pengelola SDP menutup COMBI Furniture secara paksa. Selain itu, pengelola
SDP menggugat Tarmin di Pengadilan Negeri Surabaya.
C.
Analisis kasus
Setelah pihak PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) mengajak
Tarmin Kusno untuk meramaikan sekaligus berjualan di komplek pertokoan di pusat
kota Surabaya, maka secara tidak langsung PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP)
telah melaksanakan kerjasama kontrak dengan Tarmin Kusno yang dibuktikan dengan
membuat perjanjian sewa-menyewa di depan Notaris. Maka berdasarkan
pasal 1338 BW yang menjelaskan bahwa “Suatu perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya” sehingga dengan adanya perjanjian/ikatan kontrak
tersebut maka pihak PT SDP dan Tarmin Kusno mempunyai keterikatan untuk
memberikan atau berbuat sesuatu sesuai dengan isi perjanjian.
Perjanjian tersebut tidak boleh dilangggar oleh kedua belah
pihak, karena perjanjian yang telah dilakukan oleh PT SDP dan Tarmin Kusno
tersebut dianggap sudah memenuhi syarat, sebagaimana yang telah diatur dalam
pasal 1320 BW. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat
:
1. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu
hal tertentu;
4. Suatu
sebab yang halal.
Perjanjian diatas bisa dikatakan sudah adanta kesepakatan,
karena pihak PT SDP dan Tarmin Kusno dengan rela tanpa ada paksaan
menandatangani isi perjanjian Sewa-menyewa yang diajukan oleh pihak PT SDP yang
dibuktikan dihadapan Notaris.
Namun pada kenyataannya, Tarmin Kusno tidak pernah memenuhi
kewajibannya untuk membayar semua kewajibannya kepada PT SDP, dia tidak pernah
peduli walaupun tagihan demi tagihan yang datang kepanya, tapi dia tetap berisi
keras untuk tidak membayarnya. Maka dari sini Tarmin Kusno bisa
dinyatakan sebagai pihak yang melanggar perjanjian.
Dengan alasan inilah pihak PT SDP setempat melakukan
penutupan COMBI Furniture secara paksa dan menggugat Tamrin Kusno di Pengadilan
Negeri Surabaya. Dan jika kita kaitkan dengan Undang-undang yang ada dalam BW,
tindakan Pihak PT SDP bisa dibenarkan. Dalam pasal 1240 BW, dijelaskan
bahwa : Dalam pada itu si piutang adalah behak menuntut akan penghapusan
segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia
minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala
sesuatuyang telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak
menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.
Dari pasal diatas, maka pihak PT SDP bisa menuntut kepada
Tarmin Kusno yang tidak memenuhi suatu perikatan dan dia dapat dikenai denda
untuk membayar semua tagihan bulanan kepada PT Surabaya Delta Plaza.
Bab 5
HUKUM PERJANJIAN
Pengertian
Hukum Perjanjian sering diartikan sama dengan hukum
perikatan. Hal ini berdasarkan konsep dan batasan definisi pada kata perjanjian
dan perikatan. Pada dasarnya hukum perjanjian dilakukan apabila dalam sebuah
peristiwa seseorang mengikrarkan janji kepad pihak lain atau terdapat dua pihak
yang saling berjanji satu sama lain untuk melakukan sesuatu hal.
Sedangkan Hukum Perikatan dilakukan
apabila dua pihak melakukan suatu hubungan hukum, hubungan ini memberikan hak
dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk memberikan tuntutan atau
memenuhi tuntutan tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut,
dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum perjanjian akan menimbulakan hukum
perikatan. Artinya, tidak akan ada kesepakatan yang mengikat seseorang jika
tidak ada perjanjian tertentu yang disepakati oleh masing-masing pihak. Jadi,
perikatan merupakan konsekuensi logis adanya perjanjian. Hukum perjanjian akan
sah di hadapan hukum jika memenuhi syarat sahnya.
Syarat Sah Hukum Perjanjian
Disetiap kelompok atau perkumpulan,
baik kecil atau besar, mempunyai suatu hukum atau aturan yang dibuat oleh
kelompok atau perkumpulan tersebut. Akan tetapi, apakah seseorang itu mengerti dan
paham tentang hukum tersebut.
Hukum adalah sebuah sistem yang
sangat penting untuk menindaklanjuti penyalahgunaan sebuah aturang yang
berlaku. Kata hukum berasal dari bahasa Arab, huk’mun, artinya menetapkan.
Berikut ini syarat sah hukum
perjanjian yang penting dicatat, yaitu sebagai berikut :
·
Terdapat
kesepakatan antara dua pihak. Materi kesepakatan ini dibuat dengan kesadaran
tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak mana pun, sehingga kedua belah
pihak dapat menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan.
·
Kedua
belah pihak mampu mmebuat sebuah perjanjian. Artinya, kedua belah pihak dalam
keadaan stabil dan tidak dalam pengawasan pihak tertentu yang bisa membatalkan
perjanjian tersebut.
·
Terdapat
suatu hal yang dijadikan perjanjian. Artinya, perjanjian tersebut merupakan
objek yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
·
Hukum
perjanjian dilakukan atas sebab yang benar. Artinya, perjanjian yang disepakati
merupakan niat baik dari kedua belah pihak dan bukan ditujukan kejahatan.
Selain poin diatas, sebuah perikatan atau perjanjian dapat diaktakan sah
jika telah memenuhi dasar dan syarat-syaratnya. Berikut ini merupakan syarat
sah sebuah perjanjian yang harus diperhatikan pada saat membuat surat
perjanjian.
1.
Keinginan
Bebas dari Pihak Terkait
Keinginan bebas dalam hal ini berarti
bahwa pihak-pihak yang terlibat melakukan perjanjian tanpa paksaan, ancaman,
maupun segala hal berbau tipu daya. Perjanjian merupakan bentuk yang harus
dilaklukan secara sadar. Namun, faktanya masih ditemukan orang-orang yang
membuat perjanjian di bawah tekanan atau ancaman.
2.
Kecakapan
dari Pembuat Perjanjian
Maksudnya adalah perjanjian harus
dibuat oleh pihak-pihak yang secara hukum dianggap cakap untuk melakukan
tindakan hukum. Dalam hukum Indonesia, terdapat beberapa orang yang dianggap
tidak cakap untuk bertindak sendiri sehingga harus diwakili, yaitu anak di
bawah umur, orang cacat, perempuan yang sudah menikah karena harus membuat
perjanjian di atas pengetahuan suami, dan sebagainya.
3.
Ada
Objek yang Diperjanjikan
Perjanjian tentu harus dibuat
berdasarkan objek yang nyata, bukan sesuatu yang sifatnya fiktif.
4.
Adanya
Sebab yang Halal
Sebab yang halal dalam hal ini
berarti bahawa sesuatu yang diperjanjikan harus sejalan dengan kaidah moral dan
norma yang berlaku secara umum sebagai kebiasaan serta peraturang perundangan.
Perjanjian tentu tidak sah jika bertentangan dengan kesusilaan.
Macam Perikatan
Bentuk
yang paling sederhana :
·
Perikatan
Bersahaja atau perikatan murni, yaitu apabila masing-masing pihak hanya satu
orang dan sesuatu yang dapat dituntut hanya berupa satu hal serta
penuntutannya. Ini dapat dilakukan seketika.
Bentuk Perikatan yang agak lebih rumit :
a.
Perikatan
bersyarat : suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudia
hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
1. Perikatan dengan syarat tangguh
Perikatan lahir hanya apabila peristiwa yang dimaskud itu terjadi dan
perikatan lahir pada detik terjadi peristiwa itu.
2. Perikatan dengan suatu syarat batal
Suatu perikatan yang sudah lahir, justru berakhir atau batal apabila
peristiwa yang dimaksud itu terjadi.
b.
Perikatan
dengan ketetapan waktu : suatu ketepatan waktu tidak menangguhkan lahirnya
suatu perjanjian atau perikatan suatu perjanjian atau perikatan, melainkan
hanya menanggungkan pelaksanaanya, ataupun menetapkan lama waktu berlakunya
suatu perjanjian atau perikatan.
c.
Perikatan
mana suka (Alternatif) : suatu perikatan, diaman ada dua atau lebih macam
prestasi sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan.
d.
Perikatan
tanggung menanggung : suatu perikatan dimana terdapat beberapa orang
bersama-sama sebagai pihak debitur berhadapan dengan satu kreditur atau
sebaliknya. Bila beberapa orang berada di pihak debitur maka tiap-tiap debitur
itu dapat dituntu untuk memenuhi seluruh utang. Sebaliknya bila beberapa orang
berada dipihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran
seluruh utang.
e.
Perikatan
yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi : suatu perikatan, dapat atau tak
dapat dibagi, adalah sekedar prosentasinya dapat di bagi menurut imbangan
pembangian mana tidak boleh mengurangi hakekat prestasi itu.
Pelaksaan Suatu Perjanjian
Memiliki macamnya hak yang
dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu di bagi dalam 3 macam
(pasal 1234 KuhPer), yaiut :
1.
Perjanjian
untuk memberikan/menyerahkan sesuatu barang
Misalnya jual beli, tukar-menukar,
penghibahan/pemberian, sewa-menyewa, pinjam pakai.
2.
Perjanjian
untuk berbuat sesuatu
Misalnya perjanjian utnuk membuat suatu
lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat sebuah garansi dan
lain sebagainya.
3.
Perjanjian
untuk tidak berbuat sesuatu
Misalnya Perjanjian untuk tidak
mendirikan tembok, perjanjian utnuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang
sejenis dengan kepunyaan orang lain dan lain sebagainya.
Pembatalan Suatu
Perjanjian
1.
Karena
Pembayaran
2.
Karena
penawaran pembayaran
3.
Karena
pembaharuan utang/novatie
4.
Karena
perjumpaan utang/konpensasi
5.
Karena
pencampuran utang
6.
Karena
musnahnya objek
7.
Karena
batal demi hukum atau dibatalkan
8.
Karena
berlakunya syarat batal
9.
Karena
daluarsa yang membebaskan
Contoh Kasus Hukum Perjanjian
KASUS PELANGGARAN PERJANJIAN SEWA-MENYEWA
Desember 10, 2007
Untuk mendapatkan rumah tempat
berlindung, seseorang dapat menyewa rumah orang lain. Untuk itu diawali dengan
membuat perjanjian sewa-menyewa antara pihak pemilik rumah dengan pihak
penyewa. Perjanjian ini dapat dibuat secara lisan dapat pula secara tertulis.
Selanjutnya sewa-menyewa rumah itu dilaksanakan sesuai dengan perjanjian
sewa-menyewa yang telah dibuat.
Salah satu ketentuan
sewa-menyewa yang lazim dibuat adalah pihak penyewa dilarang menyewakan ulang
rumah sewa kepada pihak lain. Hal ini untuk mencegah terjadinya kerugian pada
pihak pemilik rumah disebabkan perbuatan tidak bertanggung jawab pihak penyewa
kedua, berupa perusakan rumah, penggunaan rumah untuk praktek asusila, dan
lain-lain. Tentunya, pemilik rumah berharap, rumah yang disewakannya bermanfaat
tanpa mendatangkan masalah dikemudian hari. Pelanggaran atas hal tersebut
memberi hak kepada pemilik rumah untuk meminta kembali rumahnya dari pihak
penyewa. Dengan kata lain pemilik rumah sewa berhak untuk membatalkan
perjanjian sewa-menyewa rumah yang telah dibuatnya bersama penyewa.
Setelah pembatalan perjanjian,
pihak pemilik rumah berhak mendapatkan kembali rumahnya tanpa harus
mengembalikan biaya sewa. Akan tetapi hal ini sering kali tidak diterima oleh
pihak penyewa. Mereka menganggap dihentikannya sewa, maka membuat mereka berhak
untuk mendapatkan kembali biaya sewa yang telah diserahkan kepada pemilik
rumah, sebagaimana kasus berikut ini.
Di Villa Bintaro Regency Nomor
12A RT 1 RW2Kelurahan Pondok
Kacang Timur, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten,
penyewa rumah (selanjutnya disebut Penyewa 1) menyewakan kembali rumah yang
disewanya kepada pihak lain (selanjutnya disebut Penyewa 2) tanpa sepengetahuan
pemilik rumah. Hal ini membuat pemilik rumah merasa dirugikan, karena dalam
perjanjian yang disepakati, rumah yang disewa tersebut akan dipakai sendiri
oleh penyewa. Oleh karena itulah pemilik rumah sewa meminta Penyewa 2 untuk
mengosongkan rumah karena dianggap tidak berhak berada di rumah itu.
Penyewa 2 yang merasa tidak
bersalah, karena tidak mengetahui duduk perkara permasalahan, tidak mau pergi
dari rumah. Akhirnya setelah dijelaskan duduk perkaranya, Penyewa 2 mau pergi
dari rumah, jika uang sewa yang telah diberikannya kepada Penyewa 1,
dikembalikan lagi utuh oleh pemilik rumah. Akan tetapi pemilik rumah tidak mau mengembalikan uang sewa,
karena merasa tidak pernah menerima uang itu dan menyatakan bahwa pihak yang
harus mempertanggungjawabkan hal tersebut adalah Penyewa 1.
Penyewa 1 sendiri mau
mengembalikan biaya sewa Penyewa 2, jika pemilik rumah mengembalikan biaya sewa
yang telah diberikannya sebelumnya. Penyewa 1 merasa bahwa pembatalan perjanjian
sewa-menyewa secara sepihak oleh pemilik rumah, membuat pemilik rumah wajib
mengembalikan keadaan seperti semula dengan cara mengembalikan uang sewa dan
menganggap perjanjian sewa itu tidak pernah ada.
Bagaimana menurut Anda?
NAMA KELOMPOK
- Intan Oktaviana (23211647)
- Dwitomo (22211287)
2EB16
Sumber :
http://bangka.tribunnews.com/2012/08/31/saksi-ahli-kasus-pupuk-termasuk-hubungan-hukum-perdata
http://www.anneahira.com/hukum-perjanjian.htm
www. wikipedia.com