Rabu, 10 Oktober 2012


Jurnal Nasional Mengenai Koperasi

TINJAUAN PROSPEK KOPERASI DARI PERSPEKTIF DISIPLIN ILMU MANAJEMEN BISNIS

Abstrak
Naskah ini merupakan hasil penilaian Deputi asisten untuk Koperasi Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti. Melalui berbagai perbaikan, hasil ini kembali dibungkus oleh penulis disesuaikan t format naskah jurnal. Pembahasan koperasi selalu masih menarik, meskipun selalu mengundang pertanyaan yang tidak jarang tidak proporsional. Tidak semua pertanyaan dapat dijawab dalam laporan penilaian, namun diharapkan bisa memberikan warna pandangan lain dan bisa menjadi pertanyaan baru. Namun, hal yang menarik dari penilaian ini adalah bahwa dari sudut pandang disiplin manajemen bisnis, perubahan lingkungan bisnis global semua lebih membujuk organisasi koperasi menerapkan disiplin manajemen modern untuk merumuskan tujuan dan strategi realokasi, restrukturisasi dan sumber daya ke arah yang lebih inovatif untuk menciptakan keunggulan kompetitif di pasar. Dari perspektif bersangkutan, praktik manajemen saat ini telah ditinggalkan dan menjadi tidak relevan dengan mengejar era. Ini hanya, yang mencerminkan pertumbuhan lamban koperasi, bahkan stagnan di Indonesia yang ditunjukkan oleh efek dari kelemahan mendasar dalam menerapkan fungsi manajemen


Prospek, Perspektif, Manajemen Bisnis, Sistem Renumerasi, dan Sistem Karier
 
 



I. Pendahuluan
Setelah lebih dari 50 tahun keberadaannya, organisasi koperasi yang diharapkan menjadi tombak perekonomian nasional dan gerakan ekonomi rakyat masih terus dipertanyakan. Sebab perkembangannya belum sesuai dengan harapan atau mendekati taraf yang dicapai di negara-negara lain. Fenomena empiris koperasi Indonesia jika dibandingkan dengan praktek koperasi di berbagai negara industri maju yang menganut sistem ekonomi liberal dan kapitalistik dinilai oleh banyak kalangan masih jauh tertinggal, atau jalan di tempat dan cenderung tergantung pada fasilitas dan bantuan pemerintah. Bahkan, sebagian kalangan lain berpendapat bahwa koperasi lebih sering dimanfaatkan di luar kepentingan utamanya.
Pendapat ini dapat dibuktikan berdasarkan data perkembangan koperasi tahun 2006. Secara kuantitatif, total lembaga koperasi di Indonesia tercatat sebanyak 138.411 unit, dengan jumlah anggota 27.042.342 orang. Namun, dari jumlah tersebut jumlah koperasi aktif hanya sebanyak 43.703 unit atau hanya sekitar 31,5 persen saja. Hal ini menunjukkan bahwa koperasi sebagai lembaga ekonomi memiliki derajat kompleksitas yang lebih tinggi. Kompleksitas ini menyebabkan pertumbuhan koperasi yang berkualitas sangat terbatas dan cenderung kurang dapat diandalkan untuk mengatasi problem sosial ekonomi dalam masyarakat. Hal tersebut tidak tertutup kemungkinan disebabkan oleh muatan dan beban koperasi yang sarat dengan aspek-aspek non ekonomi, mis-management atau bahkan under managed.
Aktivitas koperasi sebagai badan usaha, tidak terlepas dari berbagai pengaruh lingkungan, baik dari lingkungan internal (SDM, organisasi dan kelembagaan, manajemen, modal, ragam usaha, keanggotaan, teknologi) dan maupun lingkungan eksternal (sosial budaya, politik, perekonomian, hukum, informasi, dan perkembangan iptek) di tingkat regional, nasional dan internasional. Pengaruh ini sebenarnya mendorong terciptanya perubahan karena adanya tantangan dan sekaligus peluang bagi pengembangan koperasi. Namun, dapat pula menjadi ancaman akibat tingkat persaingan yang semakin ketat. Resikonya, manakala koperasi tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka perubahan hanya menjadi masalah bagi koperasi. Fakta ini menjadi pertanyaan mendasar yaitu:
1) apakah koperasi masih relevan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang mengalami perubahan?
2) jikalau masih relevan, mengapa koperasi belum berkembang di Indonesia?
3) apakah kondisi masyarakat Indonesia sekarang masih kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat melalui kelompok atau koperasi?
4) apakah proses pengembangan koperasi di Indonesia masih sejalan dengan konsep/teori ekonomi, manajemen, sosial budaya, psikologi, serta hukum yang berlaku umum?
5) apakah berkoperasi merupakan salah satu pilihan untuk mensejahterakan masyarakat?
6) bagaimana pola pengembangan koperasi di masa depan pada lingkungan yang dinamis? Keenam pertanyaan di atas dikaji secara komprehensif melalui perspektif disiplin ilmu Manajemen Bisnis terhadap prospek masa depan koperasi Indonesia.

1.1  Maksud dan Tujuan
Kajian ini dimaksudkan adalah untuk menjawab berbagai persoalan maupun masalah yang sedang berlangsung dalam kehidupan gerakan koperasi di Indonesia. Secara spesifik tujuan kajian ini adalah untuk (1) Mengetahui prospek pengembangan koperasi di Indonesia ditinjau dari perspektif ilmu manajemen, dan (2) Menyusun rekomendasi tentang pendekatan pemberdayaan koperasi dalam lingkungan yang berubah dengan mempertimbangkan dimensi ilmu manajemen.

II. Metode Kajian      
2.1 Jenis dan Sumber Data
Data sekunder dihimpun dari :
1. Hasil-hasil kajian perkoperasian (dalam berbagai bentuk seperti disertasi, tesis,  skripsi, dll.) dari perguruan tinggi yang relevan dengan disiplin ilmu manajemen (dari aspek fungsi dan proses manajemen, strategi manajemen, struktur organisasi, pembagian tuigas, renumerasi, sistem karier dan efisiensi bisnis koperasi). Buku-buku teks ilmu manajemen perusahaan non koperasi dan koperasi baik yang diterbitkan di dalam negeri maupun dari luar negeri.
2. Laporan tahunan dari beberapa koperasi yang menjadi obyek pengamatan. Data primer berasal dari hasil observasi lapangan, wawancara dengan pengurus, manajer, karyawan, anggota dan pendapat para ahli yang dikumpulkan dalam kegiatan seminar di perguruan tinggi.
2.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik atau cara pengumpulan data dalam kajian ini dilaksanakan dengan cara: 1) Wawancara kepada Pengurus, Manajer, Karyawan, dan Anggota; 2) Pengamatan langsung pada aktivitas manajemen koperasi; 3) Studi pustaka; 4) Pengumpulan pendapat ahli/pakar di perguruan tinggi melalui forum seminar, konsultasi dan diskusi terbatas.
2.3 Variabel Operasional
Variabel yang digunakan dalam kajian ini meliputi konsepsi manajemen, proses dan fungsi manajemen, sistim renumerasi, sistim karier, efisiensi usaha, dan positioning koperasi. Setiap variabel kajian dijabarkan kedalam dimensi, dan indikator.
2.4 Teknik Penetapan Sampel
Wilayah kajian ditetapkan secara sengaja di enam lokasi yaitu Propinsi Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Propinsi Lampung. Penetapan propinsi sampel dilakukan dengan memperhatikan keragaman dan kompleksitas koperasi baik dilihat dari jenis, bentuk organisasi, sektor usaha, jangkauan pelayanan, skala bisnis, heterogenitas keanggotaan, maka obyek observasi difokuskan pada Propinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara. Selanjutnya, di wilayah kajian lainnya, dilakukan penelaahan hasil kajian perguruan tinggi. Sampel koperasi dikelompokkan kedalam koperasi single purpose (diwakili oleh KSP dan Koperasi Peternakan) dan koperasi multi purpose (diwakili oleh KUD).

Tabel 1. Sebaran Sampel Koperasi Pada Dua Propinsi Wilayah Kajian

(dalam unit)

Propinsi
KUD
Kopnak
KSP
PUSKUD
GKSI
Jawa Barat
2
1
1
-
1
Sumatera Utara
2
-
1
1
-


Tabel 2. Responden
Responden
Jumlah (orang)
1.      Pengurus
18
2.      Manajer
9
3.      Karyawan
9
4.      Anggota
9
                                              
2.5 Metoda Analisis Data
Metoda yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis data ini diarahkan untuk menarik kesimpulan dan merekomendasikan berbagai hal berkaitan dengan tujuan Kajian Prospek Koperasi Dari Perspektif Disiplin Ilmu Manajemen Bisnis.

III. Hasil Kajian
Pemahaman Konsepsi Manajemen
Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar responden terutama yang memiliki latar belakang pendidikan strata satu mampu mendeskripsikan dengan baik rumusan tugas manajerialnya di koperasi. Semakin baik pemahaman konseptual manajemen responden berarti dapat diduga kuat adanya korelasi positif dengan kinerja, suasana kerja di kantor, dan kinerja bisnis koperasi. Kondisi ini ditemukan pada koperasi yang diklasifikasi maju (memiliki kinerja bisnis, finansial dan organisasi yang baik). Studi khusus mengenai pemahaman konseptual manajemen pengurus dan manajer koperasi sejauh ini masih belum ditemukan. Namun, masih cukup relevan pernyataan filsuf Jerman, Emmanuel Kant (dalam Ropke, 1985) bahwa tidak ada praktek yang berhasil baik tanpa memahami konsepsi teori yang baik pula. Penelitian Sugiyanto (2006) tentang Pengaruh Kompetensi dan Komitmen Penguru dan Manajer Terhadap Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktu Modal Koperasi pada Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Kredit di Jawa Barat, menyimpulkan bahwa secara simultan kompetensi dan komitmen pengurus dan manajer memberikan pengaruh positif baik langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja keuangan, promosi ekonomi anggota, dan struktur keuangan koperasi.

Sistem Penggajian
Hasil observasi mengenai implementasi sistem renumerasi di koperasi sampe memberi gambaran bahwa sistem renumerasi di koperasi keragaannya sangat bervariasi. Semakin baik proses penerapan manajemen di koperasi maka semakin baik pula penerapan sistim renumerasinya. Hal ini diindikasikan dari adanya dasar pemberian kompensasi dan penetapan komponen kompensasi yang jelas dalam sistim penggajiannya pada tiga koperasi sampel. Koperasi lainnya belum memiliki sistim renumerasi yang jelas. Secara umum dapat dikatakan bahwa rata-rata kompensasi yang diterima oleh karyawan koperasi untuk jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, beban kerja dan pengalaman yang sama dibandingkan dengan kompensasi yang diberikan oleh perusahaan swasta relatif masih lebih rendah. 17 Oman Hadipermana (2007) dari hasil penelitiannya di Jawa Barat dan Lampung mengemukakan bahwa terjadinya ketidakpuasan karyawan koperasi ditemukan karena kompensasi yang diterima belum sesuai dengan beban kerjanya. Adanya perasaan tidak puas dan tidak adil dari para karyawan akan menyebabkan hal-hal yang kurang baik bagi pencapaian tujuan organisasi. Hal tersebut menurut Bernadin (1993) disebabkan karena adanya gap antara harapan karyawan dengan kenyataan yang diperolehnya dari organisasi tempat kerjanya.
Lebih lanjut Ade Umar, 2006, ”Pengaruh Kompensasi dan Motivasi Kerja dari hasil
penelitiannya di Maluku Utara, menyimpulkan :
1. Terdapat hubungan yang positif antara kompensasi dengan motivasi kerja karyawan. Artinya meningkatnya aspek kompensasi akan disertai dengan peningkatan aspek motivasi kerja karyawan. Meskipun terdapat indikasi bahwa kompensasi kerja bagi karyawan dipersepsikan pada kategori rendah sampai cukup saja.
2. Motivasi kerja karyawan berpengaruh positif terhadap prestasi kerja karyawan. Secara parsial motivasi kerja berpengaruh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh kompensasi kerja secara langsung terhadap prestasi kerja. Artinya walaupun kompensasi yang diterima karyawan KUD masih rendah, tetapi karyawan tetap memiliki motivasi yang baik untuk berprestasi.
3. Kompensasi kerja dan motivasi kerja secara bersama-sama (simultan) berpengaruh positif terhadap prestasi kerja karyawan.

Sistem Karier
Pada umumnya sistem karier bagi karyawan koperasi tidak jelas atau belum mapan dibandingkan dengan perusahaan non koperasi. Beberapa alasan yang diutarakan oleh para pengurus dan manajer tentang masih buruknya sistem karier di koperasi adalah dikarenakan keterbatasan posisi jabatan di koperasi dan atau terbatasnya 18 skala bisnis dan kemampuan koperasi dalam memberikan kompensasi. Alasan yang disebutkan terakhir konsisten dengan apa yang telah dibahas pada variabel kompensasi/renumerasi. Dari aspek karier, nampaknya koperasi masih bukan lembaga yang menjadi pilihan yang menjanjikan untuk para pencari kerja di pasar tenaga kerja. Karyawan yang saat ini bekerja boleh jadi karena faktor keterpaksaan karena tidak terserap oleh perusahaan non koperasi. Dengan kata lain karyawan koperasi masuk dalam kualitas ketiga. SDM dengan kualitas kesatu diserap oleh BUMS dan BUMN yang sudah mapan. Sementara SDM dengan kualitas kedua diserap oleh sektor pegawai negeri.
Survey yang dilakukan IKOPIN (Institut Manajemen Koperasi Indonesia) dan Universitas Bina Nusantara, Jakarta terhadap minat para mahasiswa tingkat akhir untuk menjadi Wirausaha mandiri, menyimpulkan kurang dari 10 persen responden yang berminat menjadi wirausaha, meski tidak dapat diserap dalam pasar kerja. Selebihnya 90 persen responden menyatakan tidak berminat dan memilih untuk menjadi pegawai. Pilihan menjadi pegawai BUMN dan BUMS yang mapan menempati prioritas pilihan pertama, kemudian diikuti menjadi pegawai negeri dan tidak satupun responden memilih koperasi sebagai tempat pilihan kariernya. Padahal kurikulum IKOPIN memuat misi mencetak sarjana ekonomi untuk membangun perekonomian dengan koperasi sebagai bentuk kelembagaan ideal bagi ekonomi kerakyatan. Temuan lain mengindikasikan bahwa kewenangan sentralistik pengurus dalam proses rekruitmen dan penempatan pegawai berdampak kepada tidak transparannya sistim karier di koperasi dan cenderung memperkuat nepotisme. Akses dan peluang kerja termasuk pengembangan karier terindikasi kuat ditentukan oleh adanya hubungan kekerabatan dengan pengurus. Alasan kemampuan finansial koperasi nampaknya bukan unsur utama dalam hal karier karyawan. Demikian pula, sangat jarang ditemukan adanya koperasi yang secara pro aktif memasang iklan di mass media untuk rekrutasi karyawan secara terbuka.

Efisiensi Usaha Koperasi
Gambaran mengenai tingkat rentabilitas ekonomi (RE) di koperasi sampel menunjukkan besaran yang bervariasi yaitu antara negatif 0,006 persen (artinya koperasi masih menderita kerugian) sampai 8,8 persen. Oleh karena standar RE untuk koperasi di Indonesia belum ada maka digunakan standar industri sebagai pembanding. Biasanya standar industri dikelompokkan kedalam jenis usahanya misalnya standar RE untuk usaha perdagangan, RE usaha manufaktur, RE usaha jasa transportasi, RE usaha pertambangan dan sebagainya. Cara lain yang biasa ditempuh para ahli manajemen keuangan adalah menggunakan standar tingkat bunga pasar dari deposito sebagai opportunity cost of money. Apabila tingkat bunga deposito yang berlaku delapan persen pertahun, maka jika RE koperasi di bawah itu dapat dikatakan koperasi tidak efisien (terjadi pemborosan pemakaian sumberdaya ekonomi). Data lapang menunjukkan bahwa sebagian besar koperasi sampel memiliki tingkat RE yang rendah (tidak efisien). Meskipun begitu sebagian KSP yang bergerak di bidang bisnis keuangan mikro menunjukkan tingkat efisiensi yang lebih baik.
Penelitian Opik Ropikoh (2003) mengenai Evaluasi Faktor-faktor Yang Menyebabkan Turunnya Perputaran Modal Kerja dan Rentabilitas Ekonomis di Majalengka, menemukan kondisi yang lebih parah yaitu dari tahun 1998 sampai tahun 2003, rata-rata RE koperasi tersebut kurang dari satu persen (antara 0,14 0,32). Patut dicatat bahwa kondisi perekonomian periode tersebut masih dalam masa krisis.
Sebelum krisis, Lilis Suryati (1997) meneliti Partisipasi Anggota Dalam Kontribusi Modal dan Pemanfaatan Pelayanan Koperasi Dihubungkan dengan Tingkat Rentabilitas Koperasi di Indramayu, juga mendapatkan RE dari tahun 1992 sampai tahun 1996 berkisar antara 0,09 persen hingga 3,21 persen. Hal serupa ditemukan dalam penelitian Lely Savitri Dewi pada tahun 2001 di Bandung tentang Pengaruh Kualitas Kewirausaahaan Pribadi Manajer Terhadap Profitabilitas Koperasi. Dari hasil penelitiannya dikemukakan probabilitas koperasi sampel yang KSP rata-rata di bawah 5 persen. Meskipun demikian terdapat kecenderungan bahwa rata-rata koperasi sampel memiliki tingkat rentabilitas ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan koperasi jenis KUD bahkan memberikan biaya transaksi yang lebih rendah dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro lainnya.
 Kondisi empirik mengenai efisiensi biaya transaksi KSP rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan lembaga keuangan non koperasi seperti dibuktikan oleh Sugiyanto (2006) yang meneliti manfaat promosi ekonomi anggota pada KSP dan koperasi kredit (Kopdit) dalam bentuk efisiensi biaya pinjaman seperti biaya administrasi, provisi dan asuransi. Efisiensi dihitung dari selisih antara biaya pinjaman anggota ke koperasi dengan bila anggota meminjam kepada pihak pesaing koperasi.
Data juga menunjukkan gambaran yang positif terhadap bisnis keuangan mikro yang digeluti oleh KSP dan koperasi kredit. KSP dan Kopdit terbukti memiliki competitive advantage yang ditunjukkan dengan rata-rata memberikan biaya pinjaman yang lebih murah 4,91 persen dibandingkan para pesaingnya dalam hal ini pihak perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini bisa jadi karena pembinaan dan pengawasan terhadap KSP dan USP koperasi oleh pemerintah lebih intensif dibandingkan dengan kegiatan bisnis koperasi di luar sektor keuangan. Meskipun begitu, masih banyak ditemukan KSP/USP koperasi yang berusaha mencari celah kelemahan dari peraturan yang ada.
Masalah efisiensi koperasi di negara-negara bekembang (termasuk di Indonesia) telah menjadi bahan diskusi panjang terhadap penyebab kegagalan koperasi. Hanel (1985 ) mengkritisi kegagalan koperasi di negara-negara berkembang disebabkan
oleh :
1. Dampak koperasi terhadap pembangunan yang kurang atau sangat kurang dari organisasi koperasi, khususnya karena koperasi tidak banyak memberikan sumbangan dalam mengatasi kemiskinan dan dalam mengubah struktur kekuasaan sosial politik setempat bagi kepentingan golongan masyarakat yang miskin.
2. Jasa-jasa pelayanan yang diberikan oleh organisasi koperasi seringkali dinilai tidak efisien dan tidak mengarah kepada kebutuhan anggotanya, bahkan sebaliknya hanya memberikan manfaat bagi para petani besar yang telah maju dan kelompok-kelompok tertentu.
3. Tingkat efisiensi perusahaan-perusahaan koperasi rendah (manajemen tidak mampu, terjadi penyelewengan, korupsi, nepotisme, dll).
4. Tingkat ofisialisasi yang yang sering kali terlampau tinggi pada koperasi (khususnya koperasi pertanian), ditandai dengan dukungan/bantuan dan pengawasan yang terlalu besar, struktur komunikasi dan pengambilan keputusan  memperlihatkan sama seperti pada lembaga-lembaga birokrasi pemerintah, 20 ketimbang sebagai suatu organisasi swadaya yang otonom, partisipatif dan berorientasi pada anggota.
5. Terdapat kesalahan dalam memberikan bantuan pembangunan internasional dan khususnya kelemahan-kelemahan pada strategi pembangunan yang diterapkan pemerintah untuk menunjang organisasi koperasi.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Hanel merumuskan beberapa rekomendasi tentang upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan koperasi sebagai berikut:
1. Organisasi koperasi harus berusaha secara efisien dan produktif, artinya koperasi harus memberikan manfaat dan menghasilkan potensi peningkatan pelayanan yang cukup bagi anggotanya.
2. Organisasi koperasi harus efisien dan efektif bagi anggotanya, artinya setiap anggota akan menilai manfaat partisipasi dalam usaha bersama lebih efektif untuk mencapai kepentingan dan tujuannya dibandingkan dengan pihak lain.
3. Dalam jangka panjang, anggota koperasi harus dapat menerima saldo positif antara pemanfaatan (insentif) dari koperasi dan sumbangan (kontribusi) yang diberikan kepada koperasi.
4. Koperasi harus mampu menghindari terjadinya situasi dimana kemanfaatan yang dihasilkan oleh usaha bersama/koperasi menjadi milik umum. Artinya koperasi harus mampu mencegah timbulnya dampak dari penumpang gelap (free riders) yang terjadi karena usaha koperasi mengarah kepada usaha bukan untuk anggota.
Yuyun Wirasasmita (1991) berpendapat bahwa kondisi koperasi setelah era 80-an dan 90-an, masih belum banyak mengalami perubahan karena masih dalam kondisi:
1. Fungsi dan tujuan koperasi belum sesuai keinginan anggotanya.
2. Struktur organisasi dan proses pengambilan keputusan sukar dimengerti dan dikontrol dan dipandang terlalu rumit bagi anggota.
3. Tujuan koperasi dari sudut pandang anggota sering dianggap terlalu luas atau terlalu sempit.
4. Karyawan koperasi dan para manajer dalam menjalankan organisasi sangat tanggap terhadap arahan pengurus atau pemerintah tetapi tidak tanggap terhadap arahan anggota.
5. Fasilitas koperasi terbuka juga bagi non anggota sehingga tidak ada perbedaan manfaat yang diperoleh anggota dan non anggota.


Positioning Koperasi
Menghadapi globalisasi dengan segala indikatornya, koperasi perlu melakukan repositioning baik dalam hal perilaku dan kompetensi sumberdaya manusia sebagai bagian dari upaya meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan (Ignatius Roni Setiawan, 2002 dalam Sugiyanto, 2008:13). Repositioning peran sumberdaya manusia dilakukan dengan mengubah pemahaman organisasi tentang peran sumberdaya manusia yang semula dengan konsep people issues menjadi people related business issues yang didefinisikan sebagai persoalan bisnis yang selalu dikaitkan dengan peran aktif sumber daya manusia.
Peran sumberdaya manusia akan semakin dihargai terutama terkait dengan kompetensinya dalam pengelolaan bisnis. Schuller dan Jackson, 1997; Ulrich D., 1997 (dalam Sugiyanto, 2008), menawarkan empat hal pokok yang berkenaan 21 dengan peran sumberdaya manusia, yaitu menjadi mitra strategis (strategic partner), menjadi ahli administrasi (administrative expert), menjadi pelopor/pejuang (employee champion), dan menjadi agen perubahan (agent of change).
Hasil analisis Sugiyanto (2006:9) menyebutkan bahwa kinerja perusahaan koperasi di Indonesia pada tahun 2003 dan 2004, berdasarkan kinerja pengembalian asset yang diinvestasikan kedalam perusahaan koperasi dengan ukuran Return on Asset (ROA) rata-rata hanya sekitar 7,52 persen. Ketersediaan sumberdaya manusia yang handal untuk mengelola bisnis koperasi juga masih kurang. Tidak semua koperasi memiliki manajer, hanya satu dari empat koperasi yang telah mampu memiliki manajer. Rata-rata partisipasi kontributif anggota (kontribusi modal) hanya sebesar Rp 435,614,-.
Rendahnya rata-rata kinerja koperasi, terutama dilihat dari efisiensi usaha (RE) secara empiris berkaitan erat dengan lemahnya proses manajemen yang berawal dari fungsi perencanaan, pengorganisasian, Pelaksanaan, dan pengendalian yang lemah termasuk sistim renumerasi, dan sistim karier. Dari sembilan koperasi yang diobservasi hanya dua koperasi (22,22 persen) saja yang telah menerapkan prinsip dan proses manajemen dengan relatif baik. Dalam pembahasan sebelumnya diduga hal ini karena koperasi tidak memiliki cukup sumberdaya yang kompeten di bidang manajerial, atau memiliki pengetahuan dan kompetensi yang cukup baik tetapi tidak memiliki komitmen yang tinggi untuk menerapkan ilmu manajemen di koperasi. Kedua faktor penyebab secara simultan memiliki pengaruh dominan terhadap positioning koperasi yang buruk.
Positioning koperasi di era globalisasi perdagangan bebas hanya dapat dipertahankan bila koperasi mampu dikelola dengan baik dan memberikan manfaat ekonomi bagi anggotanya melalui penciptaan keunggulan kompetitif yang dapat disediakan koperasi bagi anggota. Manfaat ekonomi inilah yang akan menyebabkan tingginya loyalitas dan partisipasi anggota terhadap koperasinya.
Ropke (1989), Andang K. (1993) dalam Sugiyanto (2006:12) mengajukan model matrik positioning koperasi dari hubungan antara partisipasi anggota dengan profesionalisme manajemen dalam menentukan keberhasilan koperasi untuk mencapai tujuan sebagai berikut:


Tabel 3. Model Matrik Positioning

Profesionalisme manajemen/ Partisipasi anggota
Profesionalisme tinggi
Profesionalisme rendah
Partisipasi Anggota Tinggi
Koperasi berkembang baik
Koperasi berkembang lambat
Partisipasi Anggota Rendah
Koperasi mati pelan-pelan
Koperasi mati dengan segera
Sumber: Ropke (1988), dalam Sugiyanto (2006)

Apabila matriks ini digunakan untuk memotret kondisi sembilan koperasi sampel yang diobservasi, maka positioning-nya adalah sebagai berikut:
1. Koperasi berkembang baik: 3 koperasi atau 33,33 persen (KPSBU Lembang, KSP Trisula Majalengkan dan KSP Surya Abadi Mandiri).
2. Koperasi berkembang lambat: 2 koperasi atau 22,22 persen (KUD Trisula, KUD Harapan Tani).
3. Koperasi mati pelan-pelan : 3 koperasi atau 33,33 persen (GKSI Jawa Barat, Puskud Sumatera Utara, dan KUD Karya Teguh).
4. Koperasi mati dengan segera : 1 koperasi atau 11,1 persen (KUD Setia Tani, Sumatera Utara).
Dari uraian ini terdapat beberapa pelajaran menarik yang layak dicontoh oleh koperasi dalam rangka mereposisi pengembangan bisnisnya. Positioning yang baik, dibangun dengan perencanaan dan strategi bisnis yang matang yang dimulai dengan tahapan:
(1) identifikasi kekuatan dan kelemahan internal perusahaan;
(2) identifikasi peluang dan tantangan lingkungan bisnis eksternal;
(3) identifikasi dan analisis peluang pasar;
(4) segmentasi pasar;
(5) repositioning; dan,
(6) merancang strategi pemasaran yang tepat (product, place, promotion dan price) atau strategi bisnis.
Sejauh ini belum terdapat fakta empiris bahwa telah terdapat koperasi yang telah melakukan positioning ataupun repositioning dalam hal pengelelolaan sumberdaya, kelembagaan maupun usahanya. Dengan demikian belum terdapat contoh best practice yang dapat dijadikan rujukan dan replikasi bagi koperasi lainnya. Koperasi di Indonesia, nampaknya masih bergulat dengan kondisi dan masalah internalnya.



KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian jurnal ini dapat disimpulkan bahwa prospek koperasi dilihat dari perspektif ilmu manajemen bisnis sesuai dengan enam pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut :
         1). Dari sudut pandang disiplin ilmu manajemen bisnis, perubahan lingkungan bisnis global mendorong    organisasi koperasi untuk menerapkan disiplin ilmu manajemen modern yang mendorong reformulasi tujuan dan strategi, restrukturisasi, dan realokasi sumberdaya kearah yang lebih inovatif untuk menciptakan keunggulan kompetitif di pasar. Ditinjau dari perspektif tersebut praktek manajemen di koperasi saat ini sudah jauh tertinggal dan menjadi tidak relevan dengan tuntutan jaman.
2). Perkembangan koperasi di Indonesia yang cenderung lamban atau bahkan stagnant ditengarai oleh kelemahan fundamental dalam penerapan fungsifungsi manajemen sehingga proses manajemen terhambat. Proses perencanaan berlangsung tanpa mengindahkan kaidah perencanaan yang baik dan benar. Orientasi perencanaan lebih kepada tujuan jangka pendek karena lemahnya visi perencanaan jangka panjang untuk mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Kondisi ini menyebabkan bisnis koperasi kebanyakan gagal memberikan manfaat ekonomi yang lebih baik bagi para anggotanya. Pengelolaan usaha koperasi banyak yang tidak efisien dan belum sesuai dengan kepentingan anggotanya. Koperasi terkesan hanya menjalankan fungsi dagang tanpa kemampuan menciptakan nilai tambah.
3). Kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini yang sudah semakin pragmatis dan rasional akan beralih kepada lembaga ekonomi yang mampu memberikan manfaat ekonomi yang lebih baik. Mengamati fenomena yang ada, dapat diprediksi bahwa beberapa jenis koperasi akan kehilangan maknanya sebagai manfaat ekonomi yang lebih baik bagi para anggotanya. Pengelolaan usaha koperasi banyak yang tidak efisien dan belum sesuai dengan kepentingan anggotanya. Koperasi terkesan hanya menjalankan fungsi dagang tanpa kemampuan menciptakan nilai tambah.
4). Kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini yang sudah semakin pragmatis dan rasional akan beralih kepada lembaga ekonomi yang mampu memberikan manfaat ekonomi yang lebih baik. Mengamati fenomena yang ada, dapat diprediksi bahwa beberapa jenis koperasi akan kehilangan maknanya sebagai 23 lembaga ekonomi. Hanya beberapa jenis koperasi seperti KSP (single purpose), Kopdit, dan koperasi peternakan (single commodity multi purpose) yang mampu bertahan dalam beberapa tahun ke depan. Dari sudut kebijakan makro, berkembangnya bisnis simpan pinjam koperasi tidak terlepas dari ketatnya regulasi dan pembinaan pemerintah melalui penilaian kesehatan, dan standarisasi sistim pengelolaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar