Jurnal Nasional Mengenai Koperasi
TINJAUAN PROSPEK KOPERASI DARI
PERSPEKTIF DISIPLIN ILMU MANAJEMEN BISNIS
Abstrak
Naskah ini merupakan hasil penilaian
Deputi asisten untuk Koperasi Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti.
Melalui berbagai perbaikan, hasil ini kembali dibungkus oleh penulis
disesuaikan t format naskah jurnal. Pembahasan koperasi selalu masih menarik,
meskipun selalu mengundang pertanyaan yang tidak jarang tidak proporsional.
Tidak semua pertanyaan dapat dijawab dalam laporan penilaian, namun diharapkan
bisa memberikan warna pandangan lain dan bisa menjadi pertanyaan baru. Namun,
hal yang menarik dari penilaian ini adalah bahwa dari sudut pandang disiplin
manajemen bisnis, perubahan lingkungan bisnis global semua lebih membujuk
organisasi koperasi menerapkan disiplin manajemen modern untuk merumuskan
tujuan dan strategi realokasi, restrukturisasi dan sumber daya ke arah yang
lebih inovatif untuk menciptakan keunggulan kompetitif di pasar. Dari
perspektif bersangkutan, praktik manajemen saat ini telah ditinggalkan dan
menjadi tidak relevan dengan mengejar era. Ini hanya, yang mencerminkan
pertumbuhan lamban koperasi, bahkan stagnan di Indonesia yang ditunjukkan oleh
efek dari kelemahan mendasar dalam menerapkan fungsi manajemen
|
I. Pendahuluan
Setelah
lebih dari 50 tahun keberadaannya, organisasi koperasi yang diharapkan menjadi
tombak perekonomian nasional dan gerakan ekonomi rakyat masih terus
dipertanyakan. Sebab perkembangannya belum sesuai dengan harapan atau mendekati
taraf yang dicapai di negara-negara lain. Fenomena empiris koperasi Indonesia jika
dibandingkan dengan praktek koperasi di berbagai negara industri maju yang menganut
sistem ekonomi liberal dan kapitalistik dinilai oleh banyak kalangan masih jauh
tertinggal, atau jalan di tempat dan cenderung tergantung pada fasilitas dan bantuan
pemerintah. Bahkan, sebagian kalangan lain berpendapat bahwa koperasi lebih sering
dimanfaatkan di luar kepentingan utamanya.
Pendapat
ini dapat dibuktikan berdasarkan data perkembangan koperasi tahun 2006. Secara
kuantitatif, total lembaga koperasi di Indonesia tercatat sebanyak 138.411
unit, dengan jumlah anggota 27.042.342 orang. Namun, dari jumlah tersebut
jumlah koperasi aktif hanya sebanyak 43.703 unit atau hanya sekitar 31,5 persen
saja. Hal ini menunjukkan bahwa koperasi sebagai lembaga ekonomi memiliki
derajat kompleksitas yang lebih tinggi. Kompleksitas ini menyebabkan
pertumbuhan koperasi yang berkualitas sangat terbatas dan cenderung kurang
dapat diandalkan untuk mengatasi problem sosial ekonomi dalam masyarakat. Hal
tersebut tidak tertutup kemungkinan disebabkan oleh muatan dan beban koperasi
yang sarat dengan aspek-aspek non ekonomi, mis-management atau bahkan under managed.
Aktivitas
koperasi sebagai badan usaha, tidak terlepas dari berbagai pengaruh lingkungan,
baik dari lingkungan internal (SDM, organisasi dan kelembagaan, manajemen,
modal, ragam usaha, keanggotaan, teknologi) dan maupun lingkungan eksternal
(sosial budaya, politik, perekonomian, hukum, informasi, dan perkembangan
iptek) di tingkat regional, nasional dan internasional. Pengaruh ini sebenarnya
mendorong terciptanya perubahan karena adanya tantangan dan sekaligus peluang
bagi pengembangan koperasi. Namun, dapat pula menjadi ancaman akibat tingkat
persaingan yang semakin ketat. Resikonya, manakala koperasi tidak memiliki
keunggulan kompetitif, maka perubahan hanya menjadi masalah bagi koperasi.
Fakta ini menjadi pertanyaan mendasar yaitu:
1) apakah koperasi masih
relevan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang mengalami perubahan?
2) jikalau masih
relevan, mengapa koperasi belum berkembang di Indonesia?
3) apakah kondisi
masyarakat Indonesia sekarang masih kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat
melalui kelompok atau koperasi?
4) apakah proses
pengembangan koperasi di Indonesia masih sejalan dengan konsep/teori ekonomi,
manajemen, sosial budaya, psikologi, serta hukum yang berlaku umum?
5) apakah
berkoperasi merupakan salah satu pilihan untuk mensejahterakan masyarakat?
6) bagaimana pola
pengembangan koperasi di masa depan pada lingkungan yang dinamis? Keenam
pertanyaan di atas dikaji secara komprehensif melalui perspektif disiplin ilmu
Manajemen Bisnis terhadap prospek masa depan koperasi Indonesia.
1.1 Maksud dan Tujuan
Kajian ini dimaksudkan adalah untuk menjawab berbagai
persoalan maupun masalah yang sedang berlangsung dalam kehidupan gerakan
koperasi di Indonesia. Secara spesifik tujuan kajian ini adalah untuk (1)
Mengetahui prospek pengembangan koperasi di Indonesia ditinjau dari perspektif
ilmu manajemen, dan (2) Menyusun rekomendasi tentang pendekatan pemberdayaan
koperasi dalam lingkungan yang berubah dengan mempertimbangkan dimensi ilmu
manajemen.
II. Metode Kajian
2.1 Jenis
dan Sumber Data
Data sekunder dihimpun dari :
1. Hasil-hasil kajian perkoperasian (dalam berbagai bentuk
seperti disertasi, tesis, skripsi, dll.)
dari perguruan tinggi yang relevan dengan disiplin ilmu manajemen (dari aspek
fungsi dan proses manajemen, strategi manajemen, struktur organisasi, pembagian
tuigas, renumerasi, sistem karier dan efisiensi bisnis koperasi). Buku-buku
teks ilmu manajemen perusahaan non koperasi dan koperasi baik yang diterbitkan
di dalam negeri maupun dari luar negeri.
2. Laporan tahunan dari beberapa koperasi yang menjadi
obyek pengamatan. Data primer berasal dari hasil observasi lapangan, wawancara
dengan pengurus, manajer, karyawan, anggota dan pendapat para ahli yang
dikumpulkan dalam kegiatan seminar di perguruan tinggi.
2.2
Teknik Pengumpulan Data
Teknik atau cara pengumpulan data dalam
kajian ini dilaksanakan dengan cara: 1) Wawancara kepada Pengurus, Manajer,
Karyawan, dan Anggota; 2) Pengamatan langsung pada aktivitas manajemen
koperasi; 3) Studi pustaka; 4) Pengumpulan pendapat ahli/pakar di perguruan tinggi
melalui forum seminar, konsultasi dan diskusi terbatas.
2.3
Variabel Operasional
Variabel yang digunakan dalam kajian ini
meliputi konsepsi manajemen, proses dan fungsi manajemen, sistim renumerasi,
sistim karier, efisiensi usaha, dan positioning koperasi. Setiap variabel
kajian dijabarkan kedalam dimensi, dan indikator.
2.4
Teknik Penetapan Sampel
Wilayah kajian ditetapkan secara sengaja
di enam lokasi yaitu Propinsi Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat,
Jawa Timur, Sumatera Utara dan Propinsi Lampung. Penetapan propinsi sampel
dilakukan dengan memperhatikan keragaman dan kompleksitas koperasi baik dilihat
dari jenis, bentuk organisasi, sektor usaha, jangkauan pelayanan, skala bisnis,
heterogenitas keanggotaan, maka obyek observasi difokuskan pada Propinsi Jawa
Barat dan Sumatera Utara. Selanjutnya, di wilayah kajian lainnya, dilakukan
penelaahan hasil kajian perguruan tinggi. Sampel koperasi dikelompokkan kedalam
koperasi single purpose (diwakili oleh KSP dan Koperasi Peternakan) dan
koperasi multi purpose (diwakili oleh KUD).
Tabel
1. Sebaran Sampel Koperasi Pada Dua Propinsi Wilayah Kajian
(dalam unit)
Propinsi
|
KUD
|
Kopnak
|
KSP
|
PUSKUD
|
GKSI
|
Jawa
Barat
|
2
|
1
|
1
|
-
|
1
|
Sumatera
Utara
|
2
|
-
|
1
|
1
|
-
|
Tabel 2.
Responden
Responden
|
Jumlah
(orang)
|
1.
Pengurus
|
18
|
2.
Manajer
|
9
|
3.
Karyawan
|
9
|
4.
Anggota
|
9
|
2.5 Metoda Analisis Data
Metoda yang digunakan adalah teknik
analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis data ini diarahkan
untuk menarik kesimpulan dan merekomendasikan berbagai hal berkaitan dengan tujuan
Kajian Prospek Koperasi Dari Perspektif Disiplin Ilmu Manajemen Bisnis.
III. Hasil Kajian
Pemahaman
Konsepsi Manajemen
Hasil observasi menunjukkan bahwa
sebagian besar responden terutama yang memiliki latar belakang pendidikan
strata satu mampu mendeskripsikan dengan baik rumusan tugas manajerialnya di
koperasi. Semakin baik pemahaman konseptual manajemen responden berarti dapat
diduga kuat adanya korelasi positif dengan kinerja, suasana kerja di kantor,
dan kinerja bisnis koperasi. Kondisi ini ditemukan pada koperasi yang
diklasifikasi maju (memiliki kinerja bisnis, finansial dan organisasi yang
baik). Studi khusus mengenai pemahaman konseptual manajemen pengurus dan manajer
koperasi sejauh ini masih belum ditemukan. Namun, masih cukup relevan pernyataan
filsuf Jerman, Emmanuel Kant (dalam Ropke, 1985) bahwa tidak ada praktek yang
berhasil baik tanpa memahami konsepsi teori yang baik pula. Penelitian
Sugiyanto (2006) tentang Pengaruh Kompetensi dan Komitmen Penguru dan Manajer
Terhadap Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktu Modal Koperasi
pada Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Kredit di Jawa Barat, menyimpulkan
bahwa secara simultan kompetensi dan komitmen pengurus dan manajer memberikan
pengaruh positif baik langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja keuangan,
promosi ekonomi anggota, dan struktur keuangan koperasi.
Sistem Penggajian
Hasil observasi mengenai
implementasi sistem renumerasi di koperasi sampe memberi gambaran bahwa sistem
renumerasi di koperasi keragaannya sangat bervariasi. Semakin baik proses
penerapan manajemen di koperasi maka semakin baik pula penerapan sistim
renumerasinya. Hal ini diindikasikan dari adanya dasar pemberian kompensasi dan
penetapan komponen kompensasi yang jelas dalam sistim penggajiannya pada tiga
koperasi sampel. Koperasi lainnya belum memiliki sistim renumerasi yang jelas.
Secara umum dapat dikatakan bahwa rata-rata kompensasi yang diterima oleh
karyawan koperasi untuk jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, beban kerja dan
pengalaman yang sama dibandingkan dengan kompensasi yang diberikan oleh
perusahaan swasta relatif masih lebih rendah. 17 Oman Hadipermana (2007) dari
hasil penelitiannya di Jawa Barat dan Lampung mengemukakan bahwa terjadinya
ketidakpuasan karyawan koperasi ditemukan karena kompensasi yang diterima belum
sesuai dengan beban kerjanya. Adanya perasaan tidak puas dan tidak adil dari
para karyawan akan menyebabkan hal-hal yang kurang baik bagi pencapaian tujuan
organisasi. Hal tersebut menurut Bernadin (1993) disebabkan karena adanya gap
antara harapan karyawan dengan kenyataan yang diperolehnya dari organisasi
tempat kerjanya.
Lebih lanjut Ade Umar, 2006, ”Pengaruh Kompensasi dan
Motivasi Kerja dari hasil
penelitiannya di Maluku
Utara, menyimpulkan :
1. Terdapat hubungan yang positif antara kompensasi
dengan motivasi kerja karyawan. Artinya meningkatnya aspek kompensasi akan
disertai dengan peningkatan aspek motivasi kerja karyawan. Meskipun terdapat
indikasi bahwa kompensasi kerja bagi karyawan dipersepsikan pada kategori rendah
sampai cukup saja.
2. Motivasi kerja karyawan berpengaruh positif terhadap
prestasi kerja karyawan. Secara parsial motivasi kerja berpengaruh lebih besar
dibandingkan dengan pengaruh kompensasi kerja secara langsung terhadap prestasi
kerja. Artinya walaupun kompensasi yang diterima karyawan KUD masih rendah,
tetapi karyawan tetap memiliki motivasi yang baik untuk berprestasi.
3. Kompensasi kerja dan motivasi kerja secara
bersama-sama (simultan) berpengaruh positif terhadap prestasi kerja karyawan.
Sistem
Karier
Pada umumnya sistem karier
bagi karyawan koperasi tidak jelas atau belum mapan dibandingkan dengan
perusahaan non koperasi. Beberapa alasan yang diutarakan oleh para pengurus dan
manajer tentang masih buruknya sistem karier di koperasi adalah dikarenakan
keterbatasan posisi jabatan di koperasi dan atau terbatasnya 18 skala bisnis
dan kemampuan koperasi dalam memberikan kompensasi. Alasan yang disebutkan
terakhir konsisten dengan apa yang telah dibahas pada variabel kompensasi/renumerasi.
Dari aspek karier, nampaknya koperasi masih bukan lembaga yang menjadi pilihan
yang menjanjikan untuk para pencari kerja di pasar tenaga kerja. Karyawan yang
saat ini bekerja boleh jadi karena faktor keterpaksaan karena tidak terserap
oleh perusahaan non koperasi. Dengan kata lain karyawan koperasi masuk dalam
kualitas ketiga. SDM dengan kualitas kesatu diserap oleh BUMS dan BUMN yang
sudah mapan. Sementara SDM dengan kualitas kedua diserap oleh sektor pegawai
negeri.
Survey yang dilakukan IKOPIN
(Institut Manajemen Koperasi Indonesia) dan Universitas Bina Nusantara, Jakarta
terhadap minat para mahasiswa tingkat akhir untuk menjadi Wirausaha mandiri,
menyimpulkan kurang dari 10 persen responden yang berminat menjadi wirausaha,
meski tidak dapat diserap dalam pasar kerja. Selebihnya 90 persen responden
menyatakan tidak berminat dan memilih untuk menjadi pegawai. Pilihan menjadi pegawai
BUMN dan BUMS yang mapan menempati prioritas pilihan pertama, kemudian diikuti
menjadi pegawai negeri dan tidak satupun responden memilih koperasi sebagai tempat
pilihan kariernya. Padahal kurikulum IKOPIN memuat misi mencetak sarjana
ekonomi untuk membangun perekonomian dengan koperasi sebagai bentuk kelembagaan
ideal bagi ekonomi kerakyatan. Temuan lain mengindikasikan bahwa kewenangan
sentralistik pengurus dalam proses rekruitmen dan penempatan pegawai berdampak
kepada tidak transparannya sistim karier di koperasi dan cenderung memperkuat
nepotisme. Akses dan peluang kerja termasuk pengembangan karier terindikasi
kuat ditentukan oleh adanya hubungan kekerabatan dengan pengurus. Alasan
kemampuan finansial koperasi nampaknya bukan unsur utama dalam hal karier
karyawan. Demikian pula, sangat jarang ditemukan adanya koperasi yang secara
pro aktif memasang iklan di mass media untuk rekrutasi karyawan secara terbuka.
Efisiensi
Usaha Koperasi
Gambaran mengenai tingkat
rentabilitas ekonomi (RE) di koperasi sampel menunjukkan besaran yang
bervariasi yaitu antara negatif 0,006 persen (artinya koperasi masih menderita
kerugian) sampai 8,8 persen. Oleh karena standar RE untuk koperasi di Indonesia
belum ada maka digunakan standar industri sebagai pembanding. Biasanya standar
industri dikelompokkan kedalam jenis usahanya misalnya standar RE untuk usaha
perdagangan, RE usaha manufaktur, RE usaha jasa transportasi, RE usaha
pertambangan dan sebagainya. Cara lain yang biasa ditempuh para ahli manajemen
keuangan adalah menggunakan standar tingkat bunga pasar dari deposito sebagai
opportunity cost of money. Apabila tingkat bunga deposito yang berlaku delapan
persen pertahun, maka jika RE koperasi di bawah itu dapat dikatakan koperasi
tidak efisien (terjadi pemborosan pemakaian sumberdaya ekonomi). Data lapang
menunjukkan bahwa sebagian besar koperasi sampel memiliki tingkat RE yang
rendah (tidak efisien). Meskipun begitu sebagian KSP yang bergerak di bidang bisnis
keuangan mikro menunjukkan tingkat efisiensi yang lebih baik.
Penelitian Opik Ropikoh
(2003) mengenai Evaluasi Faktor-faktor Yang Menyebabkan Turunnya Perputaran
Modal Kerja dan Rentabilitas Ekonomis di Majalengka, menemukan kondisi yang
lebih parah yaitu dari tahun 1998 sampai tahun 2003, rata-rata RE koperasi
tersebut kurang dari satu persen (antara 0,14 0,32). Patut dicatat bahwa
kondisi perekonomian periode tersebut masih dalam masa krisis.
Sebelum krisis, Lilis
Suryati (1997) meneliti Partisipasi Anggota Dalam Kontribusi Modal dan
Pemanfaatan Pelayanan Koperasi Dihubungkan dengan Tingkat Rentabilitas Koperasi
di Indramayu, juga mendapatkan RE dari tahun 1992 sampai tahun 1996 berkisar
antara 0,09 persen hingga 3,21 persen. Hal serupa ditemukan dalam penelitian
Lely Savitri Dewi pada tahun 2001 di Bandung tentang Pengaruh Kualitas
Kewirausaahaan Pribadi Manajer Terhadap Profitabilitas Koperasi. Dari hasil
penelitiannya dikemukakan probabilitas koperasi sampel yang KSP rata-rata di
bawah 5 persen. Meskipun demikian terdapat kecenderungan bahwa rata-rata
koperasi sampel memiliki tingkat rentabilitas ekonomi yang lebih baik dibandingkan
dengan koperasi jenis KUD bahkan memberikan biaya transaksi yang lebih rendah
dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro lainnya.
Kondisi empirik mengenai efisiensi biaya
transaksi KSP rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan lembaga keuangan non koperasi
seperti dibuktikan oleh Sugiyanto (2006) yang meneliti manfaat promosi ekonomi
anggota pada KSP dan koperasi kredit (Kopdit) dalam bentuk efisiensi biaya
pinjaman seperti biaya administrasi, provisi dan asuransi. Efisiensi dihitung
dari selisih antara biaya pinjaman anggota ke koperasi dengan bila anggota
meminjam kepada pihak pesaing koperasi.
Data juga menunjukkan
gambaran yang positif terhadap bisnis keuangan mikro yang digeluti oleh KSP dan
koperasi kredit. KSP dan Kopdit terbukti memiliki competitive advantage yang
ditunjukkan dengan rata-rata memberikan biaya pinjaman yang lebih murah 4,91
persen dibandingkan para pesaingnya dalam hal ini pihak perbankan dan lembaga
keuangan lainnya. Hal ini bisa jadi karena pembinaan dan pengawasan terhadap
KSP dan USP koperasi oleh pemerintah lebih intensif dibandingkan dengan
kegiatan bisnis koperasi di luar sektor keuangan. Meskipun begitu, masih banyak
ditemukan KSP/USP koperasi yang berusaha mencari celah kelemahan dari peraturan
yang ada.
Masalah efisiensi koperasi
di negara-negara bekembang (termasuk di Indonesia) telah menjadi bahan diskusi
panjang terhadap penyebab kegagalan koperasi. Hanel (1985 ) mengkritisi
kegagalan koperasi di negara-negara berkembang disebabkan
oleh :
1. Dampak koperasi terhadap
pembangunan yang kurang atau sangat kurang dari organisasi koperasi, khususnya
karena koperasi tidak banyak memberikan sumbangan dalam mengatasi kemiskinan
dan dalam mengubah struktur kekuasaan sosial politik setempat bagi kepentingan
golongan masyarakat yang miskin.
2. Jasa-jasa pelayanan yang diberikan oleh organisasi
koperasi seringkali dinilai tidak efisien dan tidak mengarah kepada kebutuhan
anggotanya, bahkan sebaliknya hanya memberikan manfaat bagi para petani besar
yang telah maju dan kelompok-kelompok tertentu.
3. Tingkat efisiensi perusahaan-perusahaan
koperasi rendah (manajemen tidak mampu, terjadi penyelewengan, korupsi,
nepotisme, dll).
4. Tingkat ofisialisasi yang
yang sering kali terlampau tinggi pada koperasi (khususnya koperasi pertanian),
ditandai dengan dukungan/bantuan dan pengawasan yang terlalu besar, struktur
komunikasi dan pengambilan keputusan memperlihatkan
sama seperti pada lembaga-lembaga birokrasi pemerintah, 20 ketimbang sebagai
suatu organisasi swadaya yang otonom, partisipatif dan berorientasi pada
anggota.
5. Terdapat kesalahan dalam memberikan bantuan
pembangunan internasional dan khususnya kelemahan-kelemahan pada strategi
pembangunan yang diterapkan pemerintah untuk menunjang organisasi koperasi.
Untuk mengatasi masalah
tersebut, Hanel merumuskan beberapa rekomendasi tentang upaya meningkatkan
efektivitas dan efisiensi perusahaan koperasi sebagai berikut:
1. Organisasi koperasi harus berusaha secara efisien
dan produktif, artinya koperasi harus memberikan manfaat dan menghasilkan
potensi peningkatan pelayanan yang cukup bagi anggotanya.
2. Organisasi koperasi harus efisien dan efektif bagi
anggotanya, artinya setiap anggota akan menilai manfaat partisipasi dalam usaha
bersama lebih efektif untuk mencapai kepentingan dan tujuannya dibandingkan
dengan pihak lain.
3. Dalam jangka panjang, anggota koperasi harus dapat
menerima saldo positif antara pemanfaatan (insentif) dari koperasi dan
sumbangan (kontribusi) yang diberikan kepada koperasi.
4. Koperasi harus mampu menghindari terjadinya situasi
dimana kemanfaatan yang dihasilkan oleh usaha bersama/koperasi menjadi milik
umum. Artinya koperasi harus mampu mencegah timbulnya dampak dari penumpang
gelap (free riders) yang terjadi karena usaha koperasi mengarah kepada usaha
bukan untuk anggota.
Yuyun Wirasasmita (1991)
berpendapat bahwa kondisi koperasi setelah era 80-an dan 90-an, masih belum
banyak mengalami perubahan karena masih dalam kondisi:
1. Fungsi dan tujuan koperasi belum sesuai keinginan
anggotanya.
2. Struktur organisasi dan proses pengambilan
keputusan sukar dimengerti dan dikontrol dan dipandang terlalu rumit bagi
anggota.
3. Tujuan koperasi dari sudut pandang anggota sering
dianggap terlalu luas atau terlalu sempit.
4. Karyawan koperasi dan para manajer dalam
menjalankan organisasi sangat tanggap terhadap arahan pengurus atau pemerintah
tetapi tidak tanggap terhadap arahan anggota.
5. Fasilitas koperasi terbuka juga bagi non anggota
sehingga tidak ada perbedaan manfaat yang diperoleh anggota dan non anggota.
Positioning
Koperasi
Menghadapi globalisasi
dengan segala indikatornya, koperasi perlu melakukan repositioning baik dalam
hal perilaku dan kompetensi sumberdaya manusia sebagai bagian dari upaya
meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan (Ignatius Roni Setiawan, 2002
dalam Sugiyanto, 2008:13). Repositioning peran sumberdaya manusia dilakukan
dengan mengubah pemahaman organisasi tentang peran sumberdaya manusia yang
semula dengan konsep people issues menjadi people related business issues yang
didefinisikan sebagai persoalan bisnis yang selalu dikaitkan dengan peran aktif
sumber daya manusia.
Peran sumberdaya manusia
akan semakin dihargai terutama terkait dengan kompetensinya dalam pengelolaan
bisnis. Schuller dan Jackson, 1997; Ulrich D., 1997 (dalam Sugiyanto, 2008),
menawarkan empat hal pokok yang berkenaan 21 dengan peran sumberdaya manusia,
yaitu menjadi mitra strategis (strategic partner), menjadi ahli administrasi
(administrative expert), menjadi pelopor/pejuang (employee champion), dan
menjadi agen perubahan (agent of change).
Hasil analisis Sugiyanto
(2006:9) menyebutkan bahwa kinerja perusahaan koperasi di Indonesia pada tahun
2003 dan 2004, berdasarkan kinerja pengembalian asset yang diinvestasikan
kedalam perusahaan koperasi dengan ukuran Return on Asset (ROA) rata-rata hanya
sekitar 7,52 persen. Ketersediaan sumberdaya manusia yang handal untuk
mengelola bisnis koperasi juga masih kurang. Tidak semua koperasi memiliki
manajer, hanya satu dari empat koperasi yang telah mampu memiliki manajer.
Rata-rata partisipasi kontributif anggota (kontribusi modal) hanya sebesar Rp
435,614,-.
Rendahnya rata-rata kinerja
koperasi, terutama dilihat dari efisiensi usaha (RE) secara empiris berkaitan
erat dengan lemahnya proses manajemen yang berawal dari fungsi perencanaan,
pengorganisasian, Pelaksanaan, dan pengendalian yang lemah termasuk sistim
renumerasi, dan sistim karier. Dari sembilan koperasi yang diobservasi hanya
dua koperasi (22,22 persen) saja yang telah menerapkan prinsip dan proses
manajemen dengan relatif baik. Dalam pembahasan sebelumnya diduga hal ini
karena koperasi tidak memiliki cukup sumberdaya yang kompeten di bidang manajerial,
atau memiliki pengetahuan dan kompetensi yang cukup baik tetapi tidak memiliki
komitmen yang tinggi untuk menerapkan ilmu manajemen di koperasi. Kedua faktor
penyebab secara simultan memiliki pengaruh dominan terhadap positioning
koperasi yang buruk.
Positioning koperasi di era
globalisasi perdagangan bebas hanya dapat dipertahankan bila koperasi mampu
dikelola dengan baik dan memberikan manfaat ekonomi bagi anggotanya melalui
penciptaan keunggulan kompetitif yang dapat disediakan koperasi bagi anggota.
Manfaat ekonomi inilah yang akan menyebabkan tingginya loyalitas dan partisipasi
anggota terhadap koperasinya.
Ropke (1989), Andang K.
(1993) dalam Sugiyanto (2006:12) mengajukan model matrik positioning koperasi
dari hubungan antara partisipasi anggota dengan profesionalisme manajemen dalam
menentukan keberhasilan koperasi untuk mencapai tujuan sebagai berikut:
Tabel 3. Model Matrik Positioning
Profesionalisme manajemen/ Partisipasi anggota
|
Profesionalisme tinggi
|
Profesionalisme rendah
|
Partisipasi Anggota Tinggi
|
Koperasi berkembang baik
|
Koperasi berkembang lambat
|
Partisipasi Anggota Rendah
|
Koperasi mati pelan-pelan
|
Koperasi mati dengan segera
|
Sumber: Ropke (1988), dalam Sugiyanto (2006)
Apabila matriks ini
digunakan untuk memotret kondisi sembilan koperasi sampel yang diobservasi,
maka positioning-nya adalah sebagai berikut:
1. Koperasi berkembang baik: 3 koperasi atau 33,33
persen (KPSBU Lembang, KSP Trisula Majalengkan dan KSP Surya Abadi Mandiri).
2. Koperasi berkembang lambat: 2 koperasi atau 22,22
persen (KUD Trisula, KUD Harapan Tani).
3. Koperasi mati pelan-pelan : 3 koperasi atau 33,33
persen (GKSI Jawa Barat, Puskud Sumatera Utara, dan KUD Karya Teguh).
4. Koperasi mati dengan segera : 1 koperasi atau 11,1
persen (KUD Setia Tani, Sumatera Utara).
Dari uraian ini terdapat
beberapa pelajaran menarik yang layak dicontoh oleh koperasi dalam rangka
mereposisi pengembangan bisnisnya. Positioning yang baik, dibangun dengan
perencanaan dan strategi bisnis yang matang yang dimulai dengan tahapan:
(1) identifikasi kekuatan dan kelemahan internal
perusahaan;
(2) identifikasi peluang dan tantangan lingkungan
bisnis eksternal;
(3) identifikasi dan analisis peluang pasar;
(4) segmentasi pasar;
(5) repositioning; dan,
(6) merancang strategi pemasaran yang tepat (product,
place, promotion dan price) atau strategi bisnis.
Sejauh ini belum terdapat
fakta empiris bahwa telah terdapat koperasi yang telah melakukan positioning
ataupun repositioning dalam hal pengelelolaan sumberdaya, kelembagaan maupun
usahanya. Dengan demikian belum terdapat contoh best practice yang dapat
dijadikan rujukan dan replikasi bagi koperasi lainnya. Koperasi di Indonesia,
nampaknya masih bergulat dengan kondisi dan masalah internalnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian
jurnal ini dapat disimpulkan bahwa prospek koperasi dilihat dari perspektif
ilmu manajemen bisnis sesuai dengan enam pertanyaan penelitian yang diajukan
adalah sebagai berikut :
1). Dari sudut pandang disiplin ilmu manajemen bisnis,
perubahan lingkungan bisnis global mendorong organisasi koperasi untuk
menerapkan disiplin ilmu manajemen modern yang mendorong reformulasi tujuan dan
strategi, restrukturisasi, dan realokasi sumberdaya kearah yang lebih inovatif
untuk menciptakan keunggulan kompetitif di pasar. Ditinjau dari perspektif
tersebut praktek manajemen di koperasi saat ini sudah jauh tertinggal dan
menjadi tidak relevan dengan tuntutan jaman.
2). Perkembangan koperasi di Indonesia yang cenderung
lamban atau bahkan stagnant ditengarai oleh kelemahan fundamental dalam
penerapan fungsifungsi manajemen sehingga proses manajemen terhambat. Proses
perencanaan berlangsung tanpa mengindahkan kaidah perencanaan yang baik dan
benar. Orientasi perencanaan lebih kepada tujuan jangka pendek karena lemahnya
visi perencanaan jangka panjang untuk mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Kondisi ini menyebabkan bisnis koperasi kebanyakan gagal memberikan manfaat
ekonomi yang lebih baik bagi para anggotanya. Pengelolaan usaha koperasi banyak
yang tidak efisien dan belum sesuai dengan kepentingan anggotanya. Koperasi
terkesan hanya menjalankan fungsi dagang tanpa kemampuan menciptakan nilai
tambah.
3). Kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini yang sudah
semakin pragmatis dan rasional akan beralih kepada lembaga ekonomi yang mampu
memberikan manfaat ekonomi yang lebih baik. Mengamati fenomena yang ada, dapat diprediksi
bahwa beberapa jenis koperasi akan kehilangan maknanya sebagai manfaat ekonomi
yang lebih baik bagi para anggotanya. Pengelolaan usaha koperasi banyak yang
tidak efisien dan belum sesuai dengan kepentingan anggotanya. Koperasi terkesan
hanya menjalankan fungsi dagang tanpa kemampuan menciptakan nilai tambah.
4). Kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini yang sudah
semakin pragmatis dan rasional akan beralih kepada lembaga ekonomi yang mampu
memberikan manfaat ekonomi yang lebih baik. Mengamati fenomena yang ada, dapat diprediksi
bahwa beberapa jenis koperasi akan kehilangan maknanya sebagai 23 lembaga
ekonomi. Hanya beberapa jenis koperasi seperti KSP (single purpose), Kopdit,
dan koperasi peternakan (single commodity multi purpose) yang mampu bertahan
dalam beberapa tahun ke depan. Dari sudut kebijakan makro, berkembangnya bisnis
simpan pinjam koperasi tidak terlepas dari ketatnya regulasi dan pembinaan
pemerintah melalui penilaian kesehatan, dan standarisasi sistim pengelolaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar